Selasa, 15 Februari 2011

Amerika Serikat dan Gerakan Islam Politik

Selasa, 18 Januari 2011

Amerika Serikat dan Gerakan Islam Politik



TRAGEDI New York dan Washington 11 September lalu, yang mengantarkan Osama Bin Laden dan jaringan Tanzim Al Qaeda-nya sebagai tersangka utama di balik tragedi tersebut, merupakan titik kulminasi dari liku-liku hubungan tegang dan saling curiga antara Washington dan gerakan Islam politik selama lebih dari dua dekade ini.Aksi serangan balasan militer AS dan sekutunya yang dimulai 7 Oktober lalu atas basis-basis Tanzim Al Qaeda dan pemerintah Taliban di Afganistan, menggores pula awal sejarah konflik militer secara langsung dalam skala besar dan luas antara Washington yang mewakili kepentingan dunia barat dan sebuah gerakan Islam politik.
Adalah awal 1970-an sebagai titik tolak terjadinya pergeseran kebijakan politik AS di Timur Tengah yang mengubah konfigurasi dari konflik AS-gerakan nasionalisme Arab menjadi konflik AS-gerakan Islam politik.
Rentetan peristiwa besar di Timur Tengah pada dekade 1970-an, seperti perang Arab-Israel tahun 1973 yang diikuti embargo minyak Arab atas negara-negara Barat, dan revolusi Iran tahun 1979 yang disusul krisis sandera diplomat AS di Teheran, telah menyadarkan para pengambil keputusan di Washington saat itu, tentang munculnya kekuatan baru yaitu gerakan Islam politik yang bisa mengancam kepentingan negara-negara barat di kawasan tersebut.
Pra-perang Arab-Israel tahun 1973 Washington masih menaruh gerakan nasionalisme Arab sebagai ancaman utama kepentingan dunia Barat di Timur Tengah. Gerakan Nasserisme di Mesir, Khadafiisme di Libya, partai Baath yang berkuasa di Irak dan Suriah, dianggap musuh-musuh politik barat yang memimpin perang melawan Israel, sangat anti-hegemoni Barat dan antipati terhadap bentuk pemerintahan monarki di negara-negara Arab Teluk yang cenderung bersahabat dengan dunia Barat.
Popularitas figur Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser, yang merupakan simbol nasionalisme Arab, tidak tertandingi saat itu. Sedangan hubungan Presiden Gamal Abdel Nasser dan Washington tercatat terburuk pada akhir 1960-an. Presiden Mesir tersebut memimpin perang melawan Israel pada tahun 1967, dengan mengibarkan bendera nasionalisme Arab.
Presiden Gamal Abdel Nasser sempat punya kecurigaan besar pada Presiden AS Lyndon Johnson saat itu, bahwa Washington akan menggalang pembentukan Pakta Islami yang akan dipimpin Raja Faisal Bin Abdul Aziz dari Arab Saudi, untuk mengucilkan Mesir dari dunia Arab dan Islam.
Konfigurasi berubah
Akan tetapi konfigurasi tersebut kemudian berubah, ketika Presiden Mesir Anwar Sadat pada perang Arab-Israel tahun 1973 membangkitkan sentimen Islam, bukan nasionalisme Arab seperti pada perang tahun 1967. Embargo minyak Arab yang dipimpin negara-negara Arab Teluk atas negara-negara Barat menyusul perang tahun 1973 itu, sangat memukul perekonomian dunia Barat akibat membumbungnya harga minyak beberapa kali lipat dari harga sebelumnya. Negara-negara Arab Teluk dikenal sangat kental sentimen keislamannya.
Washington lalu semakin yakin atas kekuatan Islam politik itu, setelah meletus Revolusi Iran tahun 1979, di mana Pemimpin Revolusi Iran Imam Khomeini saat itu menjuluki AS sebagai "syetan besar".
Kasus penyanderaan 52 diplomat AS oleh para mahasiswa Iran selama 444 hari di Teheran, untuk pertama kalinya mempermalukan dan mengesalkan AS sebagai negara adidaya.
AS waktu itu sangat khawatir akan bergulirnya revolusi Iran ke negara-negara Arab tetangganya. Apalagi sempat terjadi pendudukan Masjid Al Haram di Mekkah selama dua pekan pada tahun 1979 oleh para revolusioner Islam yang menentang do-minasi keluarga As Suud yang berkuasa di Arab Saudi.
Hanya dua tahun setelah peristiwa Masjid Al Haram itu, yakni pada 6 Oktober 1981, terjadi aksi pembunuhan Presiden Mesir Anwar Sadat oleh aktivis Islam militan. Itu disusul dengan aksi serangan bunuh diri atas pasukan marinir AS dan Perancis di Lebanon oleh gerilyawan Hezbollah pada tahun 1983.
Dalam selang waktu dua tahun saja, AS telah kehilangan dua sahabat terdekatnya di Timur Tengah, yaitu Shah Iran Reza Pahlevi tahun 1979 dan Presiden Anwar Sadat tahun 1981. Shah Iran bahkan dijuluki "Sang Polisi Teluk Persia" oleh mantan Menlu AS Henry Kissienger.
Tak pelak lagi mantan Menlu AS Warren Christoper saat itu menyebut Iran sebagai negara pendukung utama terorisme di dunia. Ia menuduh aksi-aksi kekerasan yang dilancarkan para aktivis Islam militan terhadap sasaran kepentingan AS mendapat inspirasi atau dukungan Pemimpin Revolusi Iran Imam Khomeini.
Akan tetapi pergantian pemerintahan di Washington dari pemerintah Presiden Jimmy Carter ke pemerintah Presiden Ronald Reagan pada awal tahun 1981 mengubah pula kebijakan AS terhadap gerakan Islam politik. Presiden Ronald Reagan pada masa awal pemerintahannya tampil lebih akomodatif terhadap gerakan Islam politik, menyusul invasi Uni Soviet ke Afganistan tahun 1979. Pemerintah Presiden Ronald Reagan masih tetap menganggap Uni Soviet dan blok komunis di Eropa Timur sebagai musuh nomor satu AS dan blok barat.
Maka Presiden Ronald Reagan memasok bantuan militer dan finansial besar-besaran kepada gerilyawan Mujahidin Afganistan dalam memerangi pasukan pendudukan Uni Soviet. Presiden Reagan sendiri beberapa kali menerima pimpinan Mujahidin Afganistan di Gedung Putih. Karena itu, pemerintah Presiden Reagan termasuk berandil membesarkan dan menguatkan gerilyawan Mujahidin Afganistan, termasuk Osama bin Laden dan para Afgan Al Arab, yang kini menjadi bumerang bagi AS sendiri.
Pola kebijakan politik yang dianut pemerintah Presiden Reagan saat itu sama sekali tidak berbeda dengan kebijakan politik AS tahun 1950-an dan 1960-an. Yakni, AS menggunakan gerakan Islam politik untuk menangkal pengaruh komunis blok Uni Soviet.
Dalam konteks hubungan dengan Iran, pemerintah Presiden Reagan semula juga tidak sekeras kebijakan politik yang dianut pemerintah Presiden Carter. Kasus penyelundupan senjata buatan AS ke Iran yang dikenal dengan IranGate pada tahun 1985 membuktikan terjadinya main mata antara pemerintah Presiden Reagan dan Pemerintah Iran.
Namun pada akhir pemerintah Presiden Reagan, tahun 1988, bersamaan dengan adanya gejala kekalahan Uni Soviet di Afganistan, Washington mulai mengubah lagi kebijakan politiknya yang lebih memposisikan berhadapan dengan gerakan Islam politik. Presiden Reagan menyetujui perpanjangan sanksi ekonomi AS atas Iran pada bulan November 1988. Sanksi ekonomi AS atas Iran tersebut dimulai sejak masa pemerintah Presiden Jimmy Carter.
Pada saat yang sama pula AS dan blok Barat lebih memberi dukungan politik pada Baghdad yang diperintah partai Baath (partai berhaluan nasionalisme Arab-Red) dalam perang Irak-Iran. Bahkan Perancis memasok senjata ke Irak yang mengubah perimbangan kekuatan pada akhir perang Irak-Iran itu.
Bangkitnya Islam
Masa pemerintahan Presiden George Bush (ayah Presiden AS sekarang) yang dimulai pada tahun 1989 diwarnai oleh bangkitnya gerakan-gerakan Islam politik di Timur Tengah dan Afrika Utara. Di Sudan, pada tahun 1989, terjadi kudeta militer yang dipimpin jenderal pro-Islam Omar Hassan Bashir yang berkoalisi dengan Front Nasionalis Islam pimpinan Hassan Turabi.
Di Jordania dan Mesir, partai-partai beraliran Islam meraih suara cukup signifikan. Di Aljazair, tahun 1991, Front Penyelamat Islam (FIS) berhasil memenangkan pemilu yang hampir mengambil alih kekuasaan sebelum digagalkan oleh militer.
Tentu saja kebangkitan gerakan Islam politik tersebut merupakan tantangan pertama bagi pemerintah Presiden Bush, untuk dapat memberikan reaksi politik yang tepat dari Washington. Reaksi Washington yang tidak tegas atas aksi militer Aljazair menggagalkan hasil pemilu negara tersebut, mengundang kecurigaan kubu Islam politik. Bahkan kubu Islam politik menuduh Washington bersikap mendua dalam upaya menegakkan prinsip demokrasi di dunia ketiga.
Menlu AS James Baker saat itu menanggapi tuduhan kubu Islam politik dengan menegaskan, bahwa FIS adalah perpanjangan dari gerakan Islam radikal yang memusuhi barat dan nilai-nilai demokrasi.
Pemerintahan Presiden Bill Clinton yang dimulai pada awal tahun 1993 ditandai oleh semakin kerasnya kebijakan politik AS atas musuh-musuh politiknya di Timur Tengah. Menlu Warren Christoper, Dubes AS untuk PBB Madeleine Albright (kemudian menjadi menlu pada periode kedua Presiden Clinton), dan deputi menlu AS urusan Timur Tengah Martin Indyk yang berdarah Yahudi, merupakan tiga pejabat tinggi AS yang sangat berpengaruh dalam meletakkan dasar kebijakan politik luar negeri AS saat itu. Martin Indyk dikenal sebagai arsitek kebijakan politik penangkal ganda AS atas Irak dan Iran pada masa pemerintahan Presiden Clinton.
Washington juga melakukan tekanan luar biasa dengan menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap pemerintah Presiden Omar Hassan Bashir di Sudan yang dikendalikan oleh Front Nasionalis Islam pimpinan Hassan Turabi. Tekanan kuat dari Washington dan negara Arab pro Barat itu, memaksa Presiden Omar Bashir meminta Osama bin Laden yang berdomisili di Khartoum saat itu, meninggalkan Sudan pada tahun 1996.
Hengkangnya Osama bin La-den dari Khartoum menuju Afganistan tidak mengakhiri ketegangan hubungan AS-Sudan. AS menghancurkan pabrik farmasi As Shifa dengan rudal yang diluncurkan dari kapal induk, sebagai balasan atas pengeboman gedung kedubes di Kenya dan Tanzania pada tahun 1998. AS menuding As Shifa sebagai pabrik pembuatan senjata kimia.
Teroris di AS
Pada era perang dingin, aksi kekerasan terhadap sasaran kepentingan AS memang hanya terjadi di luar batas wilayah negara AS sendiri. Namun pasca perang dingin atau selama sepuluh tahun terakhir ini, mulai timbul kecemasan aksi teroris merembes ke dalam negeri AS.
Kecemasan itu muncul setelah kasus aksi pengeboman atas World Trade Center (WTC) di New York bulan Februari tahun 1993, di mana sebanyak 10 aktivis Islam militan tertuduh berada di balik aksi pengeboman WTC itu. Dari kasus pengeboman WTC tersebut, terbongkar ada upaya juga mengebom Gedung PBB dan tempat-tempat strategis lain di New York, dengan tujuan agar AS melepaskan dukungannya yang membabi buta terhadap Israel.
Pasca kasus pengeboman WTC tahun 1993 itu, citra umat Islam dan Arab mulai buruk di mata opini umum AS. Menurut profesor Richard Bulliet dari Universitas Columbia, warga AS menamakan aksi kekerasan yang dilakukan oknum Muslim tersebut sebagai cermin dari budaya fanatik yang tidak mungkin dihadapi atau ditanggapi secara rasional.
Seorang pejabat tinggi di Departemen Luar Negeri AS mengungkapkan, kasus WTC pertama itu menjadi kendala besar bagi pemerintah Presiden Bill Clinton untuk merancang kebijakan politik yang positif dan fleksibel terhadap fenomena gerakan Islam politik. Faktor itulah yang membuat pemerintah Presiden Clinton selalu penuh curiga terhadap Hamas dan Jihad Islami di Tepi Barat dan Jalur Gaza, Hizbullah di Lebanon, FIS di Aljazair, Front Nasionalis Islam pimpinan Hassan Turabi di Sudan.
Pada saat yang sama, Presiden Clinton mendapat tekanan pula dari banyak pemerintah di Timur Tengah agar mendukung mereka dalam konflik dalam negeri melawan kubu Islam oposisi.
Ada beberapa faktor yang membantu membentuk opini buruk masyarakat AS terhadap citra gerakan Islam politik, yang pada gilirannya memperburuk pula hubungan Pemerintah AS dan gerakan tersebut.
Di antara faktor yang menonjol, adalah pengaruh Israel dan loyalis Yahudi di AS, yang selalu menghembus-hembuskan akan bahaya gerakan Islam politik, khususnya Iran, atas kepentingan AS di seluruh dunia.
Israel berusaha dengan segala cara meyakinkan pemerintah dan opini umum AS akan bahaya tersebut, demi terus mengalirnya bantuan cuma-cuma AS sebanyak 3,1 milyar dollar AS setiap tahun ke Teluk Aviv, yang diperolehnya sejak kesepakatan damai Israel-Mesir di Camp David tahun 1979. Israel selalu menampilkan dirinya sebagai pelindung kepentingan AS di Timur Tengah.
Propaganda Israel tersebut memang berhasil meyakinkan Pemerintah AS dari masa ke masa, sehingga mempengaruhi kebijakan politik luar negeri Washington terhadap negara-negara Islam.
Salah satu hasil dari propaganda Israel itu, Pemerintah AS senantiasa menentang keras upaya negara-negara Arab dan Islam memperoleh senjata atau teknologi senjata non-konvensional atau pemusnah massal, yang dikhawatirkan mengancam keamanan Israel. Karena itu, AS terus menekan Cina, Rusia, dan Korea Utara, agar tidak mengekspor teknologi senjata non-konvensional pada negara-negara Arab atau Islam, seperti Iran, Suriah, Irak, dan Libya.
Pengamat terkemuka AS, William Quandt mengakui, sebagian besar kebijakan politik AS menyangkut konflik Arab-Israel dirancang oleh Israel atau para loyalisnya. Menurut dia, dalam setiap diskusi untuk mengambil keputusan menyangkut Timur Tengah, Israel atau para loyalisnya selalu diberi peluang memberi pengaruh terhadap suatu keputusan yang akan diambil.
Hal sama juga diungkap mantan pejabat tinggi di Deplu AS, Arthur Lowrie, tentang peran besar Israel itu. Menurut Lowrie, para loyalis Israel berada di balik pemerintah Bill Clinton mengambil kebijakan politik penangkal ganda atas Iran dan Irak, serta sanksi ekonomi terhadap Iran pada tahun 1995. Ia mengungkapkan pula, para loyalis Yahudi selalu berperan sebagai arsitek ketidakberdayaan pemerintah AS mengambil kebijakan yang lebih rasional dan biadab terhadap gerakan-gerakan Islam politik.
Selain faktor loyalis Yahudi, media massa AS dan sejumlah anggota Kongres pro Israel juga ikut andil menentukan kebijakan politik Washington yang tidak bersahabat atas gerakan Islam politik, dan mencapai puncaknya dengan konflik militer AS dan Tanzim Al Qaeda-pemerintah Taliban di Afganistan saat ini.
(Musthafa Abd Rahman, dari Cairo)
http://kompas.com/kompas-cetak/0110/21/ln/amer03.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar